Clean Architecture Android Makin Diminati, Tapi Masih Banyak Salah Kaprah

Clean Architecture Android

RINGKASAN

  • Clean architecture Android makin digemari karena struktur kode yang rapi dan scalable.
  • Banyak pengembang junior keliru menerapkannya, terlalu kompleks untuk proyek kecil.
  • Praktisi menyarankan pendekatan bertahap, bukan copy-paste diagram Uncle Bob.

Tren menggunakan clean architecture Android semakin hari kian merebak di komunitas pengembang mobile Indonesia. Akan tetapi, di balik semangat mengadopsi arsitektur yang lebih terstruktur, tak sedikit developer yang justru terjebak dalam kompleksitas tak perlu. Ini menjadi sebuah ironi yang belakangan sering disoroti praktisi senior di berbagai forum teknis.

Semenjak Robert C. Martin alias Uncle Bob mempopulerkan konsep clean architecture, banyak pengembang Android berlomba-lomba menerapkannya. Di GitHub, tutorial Medium, hingga bootcamp lokal, istilah ini jadi semacam mantra untuk membangun aplikasi yang rapi, terstruktur, dan mudah diuji.

Namun, apakah clean architecture Android selalu tepat diterapkan, apalagi oleh tim kecil atau pengembang pemula?

“Masalahnya, banyak yang sekadar meniru struktur folder dan diagram lapisan, tanpa benar-benar paham prinsip di baliknya,” ujar Bagas Rahmadi, engineer senior di sebuah startup edtech. Ia mengaku kerap menemukan junior developer yang menambahkan lapisan-lapisan seperti domain, data, dan presentation hanya karena melihatnya di template proyek open source tanpa alasan kontekstual.

Sementara itu di sisi lain, framework modern seperti Jetpack Compose dan Koin justru mendorong arsitektur yang lebih fleksibel. Ini menjadikan banyak komunitas Android kini makin sadar bahwa clean architecture bukanlah satu-satunya cara untuk membangun aplikasi berkualitas. Ia hanyalah alat yang sama seperti semua alat, ada saat yang tepat untuk menggunakannya.

Namun dalam praktiknya, clean architecture Android paling relevan ketika proyek sudah cukup besar, banyak modul, tim lintas peran, dan kebutuhan testing yang tinggi. Tapi untuk aplikasi personal atau MVP startup, menggunakannya sejak awal justru bisa memperlambat progres dan mempersulit debugging.

Jika ditelaah lebih dalam, daya tarik clean architecture Android tak lepas dari keinginan untuk “merapikan kekacauan” yang kerap terjadi dalam siklus pengembangan aplikasi. Tapi ironisnya, arsitektur ini sendiri bisa menjadi sumber kekacauan baru jika diterapkan secara kaku.

Sebagian pengembang senior kini justru menyarankan pendekatan pragmatis, mulai dari struktur sederhana, lalu refactor bertahap seiring bertambahnya kebutuhan. Alih-alih bisa mengikuti dogma, mereka mendorong komunitas untuk memahami mengapa clean architecture dibuat, bukan hanya bagaimana cara menyalinnya.

Clean architecture Android memang menawarkan fondasi yang solid bagi aplikasi skala besar, tapi bukan jawaban mutlak untuk semua proyek. Apalagi jika implementasinya sekadar kosmetik tanpa pemahaman fungsional.

Dalam pengembangan software yang bergerak cepat saat ini, kadang “cukup baik” lebih baik daripada “sempurna tapi lambat”. Oleh itu, mungkin sudah waktunya komunitas Android berhenti memuja struktur, dan mulai memikirkan konteks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *